FEATURED POST THIS WEEK:

Episode 1 : A Bad Start (JUDGEMENT series)


Jalanan ini terlihat teduh, namun tetap saja panas menyengat ini membuatku gugup. Tetapi dengan tatapan tajam aku berusaha sebisaku untuk menyembunyikan kegugupanku. Aku tak mau pria itu tahu bahwa aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Pria itu memakai seragam coklat dan topi hitam. Kumis tebal membuat wajahnya terlihat semakin mengintimidasi. Dia berdiri di samping mobilnya sembari menatapku. Kita terpisah jarak yang tak begitu jauh maupun dekat. Aku bisa melihat dengan jelas wajahnya, lehernya yang berkeringat dan tegang, serta sepucuk pistol yang tergantung dipinggangnya.
Aku masih tak percaya harus berhadapan dengannya. Segala skenario serta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi mulai bermunculan di dalam kepalaku. Pria itu mendadak bergerak maju. Muncul keinginan untuk segera berbalik dan berlari secepat-cepatnya. Tetapi itu hanya akan membuatku semakin terlihat bersalah. Tidak ada hal yang akan menghentikannya untuk menarik pistolnya dari pinggangnya lalu memuntahkan beberapa timah panas untuk menembus punggungku. Aku terpaksa berdiam diri dan mencoba sebisaku untuk mendengarkan kemauannya. Pria itu semakin mendekat dan aku mengumpulkan keberanianku untuk bertanya,

“Ada apa, pak? Ada yang bisa kulakukan untuk anda?”,

Aku mencoba memanfaatkan pengalamanku ketika bekerja dibagian customer service. Namun dia tidak bergeming. Tatapannya membuatku tidak nyaman. Aku merasa seperti sedang ditelanjangi olehnya. Meskipun tidak ada orang lain ditempat itu, tetap saja aku merasa tidak nyaman dengan tatapan seperti itu. Dia berhenti dihadapanku. Masih dengan tatapan yang sama, dia memperhatikanku dari atas hingga kebawah seperti sebuah perabot yang akan dibelinya.
Mendadak dengan cepat dan kasar, dia menarik tanganku yang kurus. Aku dengan reflek mencoba melawan. Tetapi cengkraman tangan kekarnya membuatku terseret mengikuti kemauannya. Dia menyeretku ke belakang mobilnya. Dengan kasar dia menghempaskan badanku ke atas pintu bagasinya. Dia memutar balik badanku dan menggenggam kedua bahuku dengan keras. Aku tidak bisa mengangkat kedua tanganku untuk memberikan perlawanan. Mendadak dia memelukku seperti seorang kekasih yang romantis. Lengan kanannya yang besar menahan tubuhku ke arah dadanya sembari mencekikku. Aku kesulitan bernafas. Selagi aku berusaha melepaskan jepitan dileherku, tangan kiri pria itu dengan cekatan berusaha membuka kancing celanaku. Aku paham sekarang. Dia sedang mencoba untuk memerkosaku.
Kedua tanganku tertahan oleh kedua lengannya yang kekar dan besar. Wajahnya berada di sebelah wajahku begitu dekat sehingga aku bisa merasakan nafasnya yang semakin memburu. Sebagai seorang lelaki heteroseksual, ini akan menjadi sebuah aib yang paling besar yang akan kusimpan. Itu pun jika aku masih hidup untuk menanggung malu setelah dia memuaskan keinginannya. Aku semakin takut ketika dia berhasil menurunkan celanaku. Aku tidak pernah merasakan perpaduan malu, takut dan depresi seperti ini.
Tanpa kusangka, perasaan ini malah memperbesar niatku untuk keluar dari situasi ini. Aku menemukan celah ketika dia sibuk membuka celananya sendiri. Tangan kiriku menjadi sedikit leluasa. Lenganku dan lengannya yang berkeringat membuatku bisa menggelincirkan tangan kiriku untuk bisa bergerak bebas. Tanganku segera menggapai wajahnya. Dengan cekatan aku meraba dan merasakan wajahnya. Aku mengincar matanya. Begitu menemukan posisi matanya, dengan sekuat tenaga aku menusukkan jariku ke bola matanya yang terbuka bebas. Dia mengerang kesakitan dan dekapannya kini menjadi jauh lebih longgar. Tubuhku yang kurus membuatku memiliki celah yang cukup untuk berbalik badan. Pikiran pertama yang muncul di kepalaku adalah meraih pistol yang ada dipinggangnya. Dengan segera aku meraih pistolnya dan memuntahkan seluruh isinya ke dada, perut serta selangkangannya yang kotor itu.
            Tubuhnya yang semula terlihat kuat dan tak terkalahkan kini terbaring lemah di atas tanah. Perasaan lega, takut dan bingung menyerangku secara bersamaan. Kedua kakiku terasa lemas namun tanganku masih menggenggam pistol tersebut dengan erat. Keringatku mengucur deras. Aku mencoba menenangkan diriku sendiri dan mengambil nafas panjang. Namun usahaku sia-sia. Sekarang aku punya masalah baru. Aku baru saja membunuh seorang polisi. Seberapa keras pun aku mencoba menjustifikasi perbuatanku dengan alasan apa yang diperbuat terhadapku, tetap saja aku akan diburu dan dihabisi. Aku berpikir keras langkahku selanjutnya. Kabur bukan pilihan yang baik. Membuang tubuhnya ke sungai juga bukan pilihan yang baik. Cepat atau lambat tubuhnya akan ditemukan. Tapi darimana mereka tahu bahwa aku yang melakukkannya? Tidak. Mereka pasti punya cara untuk menemukan bukti. Kalaupun tidak, pasti ada saja orang yang melihatku berjalan keluar dari gang ini. Mereka pasti akan dengan senang hati bersaksi untuk menghukum seorang pembunuh polisi.

            “Perlu bantuan?”,

            Aku terkejut mendengar suara seorang pria dari belakangku. Meskipun aku merasa seperti mengenal suara tersebut, tetap saja dengan reflek aku berbalik badan dan menodongkan pistol yang kurebut ke arah suara tersebut. Seorang pria dengan setelan jas hitam yang rapi, rambut kelimis, berkumis tipis dengan wajah yang tampan, berdiri dan tersenyum ramah kepadaku. Dia terlihat tidak asing, namun aku tidak ingat pernah bertemu dengannya dimana. Pistolku masih mengarah kepadanya dan dengan suara bergetar aku bertanya kepadanya,

            “Siapa kau? Apa yang sedang kau lakukan disini?”,

            “Bukannya seharusnya aku yang bertanya? Sebaiknya kau tutupi dulu pistolmu yang satunya sebelum kita bicara lebih lanjut.”,

            Senyumannya semakin lebar dan menyebalkan. Dia sedang mempermalukanku. Tetapi dibandingkan dengan hal yang baru saja terjadi padaku, ini tidak ada apa-apanya. Dengan pistol dan kedua mataku yang masih terarah kepadanya, aku menaikkan celanaku dan berusaha mengkancingkannya dengan satu tangan. (to be continued)

Comments

Contact Me!

Name

Email *

Message *