FEATURED POST THIS WEEK:
Episode 2 : Bad Sense of Humour (JUDGEMENT series)
“Jawab
pertanyaanku! Apa yang kau lakukan disini?”, semburku.
“Aku
disini khusus untuk memberimu ucapan selamat dan merayakan keberhasilanmu dalam
menyelamatkan dirimu sendiri.”
“Tidak.
Tembak saja.”, jawabnya dengan penuh keyakinan dan senyuman penuh percaya diri.
Amarahku
terpancing. Aku membidik kepala pria itu lalu menarik pelatuk. Peluru itu
langsung bersarang di kepalanya. Aku menyaksikan darah keluar dari dahi pria
malang itu. Dia tidak seharusnya ada disini. Dia tidak seharusnya menyaksikan
apapun yang sudah terjadi disini. Dia juga tidak seharusnya memancing amarahku
dan memaksaku untuk membunuhnya. Pria itu terbaring kaku diatas tanah dengan
lubang di wajahnya. Keberuntungannya tidak sebagus penampilannya.
Sekarang
mayat yang harus kusingkirkan bertambah satu. Aku benar-benar tidak butuh
tambahan beban saat ini. Aku mulai menyesali keputusanku untuk membunuh pria
tampan itu. Namun mendadak aku mendapat sebuah ide cemerlang. Aku menaruh
pistol ini di tangan pria yang baru saja kubunuh dan membuat keadaan
seolah-olah pria tampan ini yang baru saja membunuh polisi pemerkosa sialan ini
lalu memutuskan untuk mencabut nyawanya sendiri karena takut akan konsekuensi
atas perbuatannya. Aku beralih ke polisi, menyeret tubuhnya sehingga terlihat
seperti posisi mereka terlihat seperti berdiri berhadapan sebelumnya. Setelah
selesai dengan si polisi, aku menoleh untuk mengecek si pria tampan. Dia
hilang. Tanpa bekas sedikit pun.
Ini
mustahil. Pria itu tidak mungkin masih hidup. Aku menyaksikan secara langsung
di depan mataku, dia tumbang dengan peluru menembus dahinya. Tidak ada manusia
yang bisa selamat dari itu. Kalaupun dia masih hidup, tidak mungkin dia bisa
menghilang secepat itu. Aku mulai berpikir bahwa pria itu hanyalah ilusi dan
pembicaraan kita barusan hanyalah halusinasiku yang muncul akibat trauma akan
kejadian yang baru saja kualami. Akal sehatku tidak bisa mencerna hal ini.
Aku
teringat bahwa waktuku tidak banyak sebelum ada orang lain yang benar-benar
muncul melewati jalanan sepi ini. Mayat polisi sialan ini harus segera aku
singkirkan. Aku membuka pintu bagasi dan menyeret tubuhnya yang besar dan
berat. Aku perlu waktu untuk memasukkan tubuh si mesum ini ke dalam bagasi.
Mayatnya yang kebesaran ini akhirnya berhasil masuk ke dalam bagasi. Aku
menutup pintu bagasi dengan sedikit perasaan lega karena setidaknya sekarang
tempat ini tidak terlihat seperti lokasi pembunuhan.
“Sudah
lebih santai?”,
Terdengar
suara yang kukenal dari belakangku diikuti dengan suara klik dan rasa hangat
dari ujung sebuah tabung kecil menempel di belakang kepalaku. Jantungku terasa
seperti baru saja disengat oleh stun-gun. Aku nyaris melompat, namun
seketika aku sadar bahwa otakku bisa saja berceceran kemana-mana jika aku salah
bergerak sedikit saja. Nafasku tertahan oleh rasa panik dan takut.
“Santai…!
Maaf bila aku mengagetkanmu.”, ia berkata sembari menurunkan pistolnya, “Aku
hanya bercanda. Kau terlihat sangat tegang dari tadi.”, ia berjalan ke
sebelahku lalu naik ke atas kap bagasi mobil dan duduk di atasnya.
“Jadi
apa rencanamu?”, ia berkata sambil menatapku dengan santai dan mengembalikan
pistol yang kurebut dari polisi tadi.
Aku
kehilangan kata-kata melihat kelakuannya. Aku hanya terdiam dan bengong
menatapnya. Aku malah sibuk memperhatikan dahinya, memastikan bahwa aku tadi
menembaknya. Pikiranku masih berusaha keras untuk memastikan bahwa semua ini
nyata atau tidak, khususnya pria itu.
“Oh
iya! Aku lupa memperkenalkan diri. Lucius.” Ia berkata sambil melompat turun,
mundur beberapa langkah dan membungkuk dengan elegan ala bangsawan Eropa.
Sekali lagi, gerak geriknya terlihat sangat aneh, mistis namun mengaggumkan.
Aku tidak bisa menjelaskan apa yang membuatnya terlihat begitu mempesona.
Dengan nama yang aneh, cara bicara yang membuat lawan bicaranya seperti
terhipnotis, aku tak tahu kata apa lagi yang cocok untuk mendeskripsikan
dirinya lebih lanjut.
Dia berjalan
ke pintu mobil, masuk dan duduk di jok depan. Dia mengeluarkan kepalanya dari
jendela, “Apa lagi yang kau tunggu? Ayo kita berangkat!”. Aku yang masih asik
menggapai realita langsung tersadar seketika. Mayat polisi sialan ini masih
menunggu untuk ‘dihilangkan’. Dengan segera aku masuk ke dalam mobil dan
mencoba menyalakan mesin. Aku ingin segera keluar dari tempat yang sudah memberiku
pengalaman buruk ini. Aku menyetir dengan masih setengah bingung dan tidak tahu
arah tujuanku. Lucius duduk di sebelahku menikmati jalanan seperti sedang dalam
trip liburan yang menyenangkan. Mayat di bagasi membuatku merasa seperti
selebriti. Setiap mata terasa seperti tertuju pada kita. Walaupun aku tahu itu
hanya perasaanku saja, namun tatapan setiap orang membuatku gugup. Dan entah
sejak kapan aku menyebutkan kita, seolah aku dan Lucius adalah satu tim.
“Ayo kita ledakkan
mayat polisi mesum itu!”, kata Lucius dengan yakin dan mata berbinar. (to be
continued)
Baca Judgement Episode 1 disini!
Baca Judgement Episode 1 disini!
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment